Lagi lagi Bang Roshan, tak bosan dia membuat salah satu diantara kami
menangis. Kemarin lusa Ane, kemarin Dian, dan sekarang Ina dan entah
besok siapa lagi. ABang, begitu kami semua memanggilnya. Aku, Ina, Ane,
Rima, Eka, dan Dian mengangkatnya sebagai kakak bersama. Hal ini bukan
kebetulan memang tapi ada beberapa penyebab yang membuat semua harus
seperti itu. Sebetulnya Bang Rhosan adalah teman sekelas kami. Namun
karena usianya lebih tua dari kami maka dari itu kami memanggilnya
ABang.
Ina adalah sosok yang paling pendiam diantara kami semua,
namun Ina memiliki sensitivitas, untuk itu perasaanya mudah sekali
terluka.
“Kenapa In, di bentak lagi?” Tanyaku
Ina
terus menitikan airmata, aku usap pundaknya dan seketika ia berhambur
ke pelukanku. Selang berapa lama Ane, Eka, Rima, dan Dian menghampiri
kami yang tengah ada di Bundaran taman kampus.
“Bang Roshan lagi ya Ren” celetuk Rima
Aku hanya tersenyum lirih mengiyakan.
“Kenapa sih selalu orang itu yang menimbulkan masalah?” sahut eka ketus
“Heii, tidak boleh begitu. Bagaimanapun dia adalah ABang kita”. Kataku mengimBangi
“ABang macam apa yang selalu membuat adenya menangis? Sambung Eka
“Iya aku setuju tuh. Lagian menurut silsilah dia itu bukan ABang beneran kita kali” sahut Rima menimpali.
“Iya bisanya menasehati, seperti dia paling benar diantara kita, dan kita selalu salah”. Tutur Ane menambahkan.
“Iya aku juga masih sebel sama dia, masa aku gak boleh sedih karna
pacarku gak ingat ulang tahunku, masa dia bilang itu masalah sepele.
Bukan menghibur malah membuat perasaanku semakin sakit dan kecewa “Sahut
Dian.
“Apalagi sama aku dia lebih parah. Masa
dia melarang aku pergi ke puncak malam-malam, padahal terserah aku dong
mau main kemana dan sama siapa. Mamaku aja gak pernah melarang-larang
aku kok”. Tambah Rima
“Udah In gak usah sedih. Ada kita disini”. Sahut Eka.
“Sekarang udah aja, gak ada istilah ABang untuk Roshan. Lagian apa
untungnya coba buat kita. Gak ada kan?. Tanpa dia juga kita biasa-biasa
saja gak ada pengaruh apa apa. Kita tetap bisa menjaga diri” Tutur Ane
“Ya aku setuju Ne, sudah waktunya kita semua bebas dari yang namanya Roshan itu”. Timpal Rima.
“Kok kalian bisa bicara seperti itu”. Kataku pendek.
“Ren, apa untungnya sih kita angkat dia sebagai ABang kita. Cuma bikin
repot aja kan. Hanya bikin masalah-masalah baru”. Balas Ane.
Lalu seketika semua teman-teman menyetujui. Ini seperti sebuah
deklarasi. Namun aku masih sedikit bingung. Aku tidak begitu yakin ini
adalah keputusan yang baik. Tapi ya sudah aku hanya bisa mengiyakan dan
mengikuti apa yang diinginkan teman-teman.
***
Sehari setelah deklarasi itu, Semua berubah 180 derajat. Kami yang
biasanya menyalami Roshan saat masuk kelas kini tidak lagi. Teman-teman
sama sekali tidak ingin berkomunikasi dengan Roshan. Roshan mungkin
tidak menyadari perubahan teman-teman. Mungkin Roshan pikir kami hanya
marah biasa saja kepada dia seperti yang biasa kami lakukan
kemarin-kemarin. Padahal kali ini semua berbeda. Ini adalah akhir.
Lama lama Roshan menyadari sebuah keganjilan. Akhirnya dia berusaha
mencari-cari dan berupaya untuk mendekati kami. Namun gagal. Dia sudah
berusaha mendekati kami dengan mengajak nonton bareng, belajar bersama,
sampai makan bareng. Namun sayang hal itu tidak bisa mematahkan
keyakinan kami untuk memutuskan hubungan dengan Roshan.
Sampai akhirnya ketika di Kantin kami sedang makan dia menghampiri
kami. Dengan gaya sok akrabnya dia menghampiri kami.
“Hei.. makan kok gak ngajak-ngajak”. Cetus Roshan.
Tak ada teman-teman yang menanggapi. Tapi dia tidak berputus asa. Dia
coba mengganggu kami dengan ikut memakan makanan yang sedang dimakan
oleh Eka. Kontan Eka marah. Ia melempar makanannya ke arah Roshan. Kami
semua tersentak. Begitupun Roshan ia begitu kaget. Sepertinya ia tak
pernah membayangkan akan mendapat perlakuan seperti itu. Kemeja Roshan
kotor terkena tumpahan makanan yang dilempar oleh Eka.
“Kalian kenapa? Aku punya salah apa?”
Begitulah Roshan selalu merasa tidak mempunyai salah. Padahal bila
dihitung-hitung kesalahannya sudah lebih dari seratus daftar.
Eka berdiri dan bergegas ke kasir untuk membayar makanan. Kami juga
turut berdiri dan meninggalkan Roshan di meja makan. Roshan hanya bisa
menatap kami dengan tatapan sendu. Terus terang saja aku tidak sampai
hati berbuat seperti ini.
***
Setelah kejadian di kantin itu. Roshan sudah mengerti apa yang kami
inginkan. Untuk itu dia tidak pernah mengganggu kami lagi. Tidak pernah
menyapa kami di kelas, tidak pernah mengajak makan bersama di kantin
apalagi mengajak nonton bareng. Komunikasi kami mati total. Semua
teman-teman senang dengan hal ini. Mereka seperti sudah mendapatkan
kebebasan yang selama ini mereka mimpikan.
Kini
tak ada lagi yang menangis. Kami semua sudah menemukan kebebasan. Ane
tak lagi kesal karena selalu mendapat nasihat, Dian tak lagi sakit hati
karena masalah cintanya dianggap sepele, dan Rima bebas mau kemana saja
dan dengan siapa saja tanpa ada yang melarang. Begitupun Ina, Eka, dan
juga aku merasakan hal yang sama yaitu sebuah kebebasan.
Akhir pekan ini kami harus menyelesaikan proposal program. Proposal ini
dibuat untuk mengajukan kerjasama pada sebuah perusahaan. Kami akan
mengadakan studi praktek ke sebuah prusahaan. Namun kami kebingungan.
Selain tidak ada laptop yang bisa digunakan. Teman-teman ternyata
memiliki acara masing-masing.
“Ya udah Eka, kamu boleh pulang. Tapi kita pinjem laptopnya ya untuk ngerjain proposal ini” sahutku.
“Ih gak bisa Ren. Aku mau ngerjain tugas”. Balas Eka
“Trus gimana dong, laptop punya Ina rusak. Banyak virusnya. Laptopku kan batrenya dah soak” kataku lagi
“Ya sudah sih. Kalian ngerjainnya di warnet aja”
“Ya kan kalau di warnet kita harus bayar. Kalau ngetiknya di laptop kan
nanti di warnet tinggal ngeprint aja jadi lebih murah”
“Mmhh.. coba disini ada Bang Roshan ya. Jadi ada yang bantuin kita” kataku spontan.
“Plis deh Ren. Jangan sebut-sebut lagi nama itu”. Sentak Eka.
“Iya ni Rena. Kita kan sudah sepakat untuk menghapus nama itu dari hidup kita”. Timpal Ane.
Lalu suasana menjadi hening, aku, Ina, Ane bingung mencari solusi. Eka
seperti sedang kesal dengan sesutu, mungkin kesal karna aku menyebut
nama Roshan. Sementara Dian dan Rima asyik ber-SMS-an dengan pacarnya
masing masing.
“Eh teman-teman aku pulang duluan
ya. Pacarku dah di depan lagian rumahku kan jauh. Jadi maaf ya gak bisa
bantu kalian”. Cetus Dian.
“Aku juga ya, aku ada acara sama teman-temanku di puncak. Maaf ya gak bisa bantu juga”. Sahut Rima menimpali.
Dian dan Rima pun beranjak. Padahal kami belum mengiyakan. Disusul
dengan Eka yang pergi meninggalkan kami dengan wajah ketus. Sepertinya
dia tengah memiliki masalah.
Ya sudah akhirnya mau
tidak mau kami mengerjakan pekerjaan ini di warnet. Mungkin akan
menguras banyak biaya. Tapi ya sudahlah tidak ada jalan lain.
***
Malam tiba, sekitar pukul 9 malam. Ponselku berdering. Sebuah pesan
singkat dari nomor Rima masuk ke ponselku. Lalu aku membuka pesan
singkat tersebut.
“Teman-teman tolongin aku, aku lagi di kantor Polisi sekarang”
Aku pun segera menelpon Rima untuk mengetahui secara detil bagaimana ia
berada di kantor polisi. Pada menit-menit berikutnya aku menghubungi
teman-teman yang lain untuk bersama-sama menemui Rima di kantor Polisi.
Rupanya Rima terkena razia saat dilakukan sidak disebuah vila di kawasan
Puncak Bogor. Memang akhir-akhir ini sedang dilakukan razia
besar-besaran bagi pengguna narkoba. Meskipun begitu aku yakin Rima
tidak mungkin menggunakan Narkoba.
Aku dan
teman-teman yang lain kemudian berangkat ke kantor polisi untuk menyusul
Rima. Kasihan dia. Dia sendirian disana. Sementara teman yang
membawanya ke Puncak kabur saat penggeledahan. Tak berapa lama kami
sampai di kantor polisi.
Sesampai di kantor polisi
kami mendapati Rima tengah menangis di sebuah Bangku yang terletak di
depan pintu kantor polisi. Kami lalu mendekati dan memeluknya erat-erat.
Dia menangis tak kuasa. Kami merasakan kesedihan yang mendalam.
“Ayo Rim, kita pulang” kataku
“Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang di dalam”
“Siapa Rim”
“Dia yang menolongku”
Lalu
sesosok pria yang tak asing keluar dari pintu. Ia berjalan pelan.
Sempat menengok ke arah kami sejenak lalu meneruskan langkahnya.
“Bang......” cetus kami sepontan.
Lalu sosok pria yang tak lain adalah Bang Roshan itu membalikkan badan dan menatap ke arah kami.
“Kalian cepat pulang, malam sudah larut” Sahut Bang Roshan.
Bang Roshan kembali membalikkan badan dan melanjutkan langkah kakinya.
Malam ini Bang Roshan sudah membuka mata kami semua tentang arti
keluarga. Memang tak ada ikatan darah. Tapi ikatan batin kami kuat.
Entah bagimana, Bang Roshan malam ini sudah menyelamatkan Rima,
setidaknya Rima bisa pulang karena Bang Roshan sudah menjadikan dirinya
sebagai jaminan. Ternyata selama ini Bang Roshan tidak menutup matanya.
Hanya kami yang pura-pura buta soal ini.
***
Hari-hari berikutnya kami menyadari dengan sangat soal kekeliruan ini.
Setelah kejadian malam itu ternyata Bang Roshan tidak serta merta
bersikap akrab terhadap kami. Ia masih mendiamkan kami. Tak menyapa,
mengajak makan bersama di kantin, atau belajar bareng. Mungkin Bang
Roshan masih memegang kata-kata kami. Kata-kata kami yang tidak ingin
lagi diganggu oleh kehadirannya.
Soal ini kami
harus berusaha. Bagaimanapun kami menyadari apa yang selama ini kami
lakukan itu adalah kekeliruan. Penilaian kami soal daftar kesalahan Bang
Roshan tidak kami imBangi dengan kebaikan yang pernah dibuatnya. Maka
kami menyusun sebuah rencana untuk membuka komunikasi kembali dengan
Bang Roshan. Beruntung, kami dibantu oleh Johan dan Dedi. Johan dan Dedi
adalah sahabat baik Bang Roshan. Dengan memanfaatkan kelemahan Bang
Roshan (pelupa Red) kami menyusun apik rencana ini.
Suatu siang di kantin kampus kala Bang Roshan tengah makan siang, kami
semua menghampiri meja tempat Bang Roshan makan. Bang Roshan tengah
melahap empe empe kegemarannya. Kami lalu duduk tanpa sepatah kata. Bang
Roshan menatap kami dengan segumpal empe empe yang masih dikunyah
dimulutnya. Ia lalu mengangkat tasnya dan membawa makanannya ke meja
yang lain. Kami semua tidak mencegahnya untuk pindah tempat. Beberapa
menit kemudian Bang Roshan tampak selesai makan. Ia membereskan tasnya
dan meraba kantong celananya untuk mengambil dompet. Ada sesuatu hal
yang ganjil karena ternyata dompet Bang Roshan tidak ada di saku
celananya. Ia mulai mencari-cari di semua titik baju dan celananya namun
dompetnya masih tidak ditemukan. Begitupun di dalam tasnya, ia
mencari-cari tapi tidak menemukan. Ia mulai panik, ia membayangkan akan
mendapat bom suara dari pemilik kantin yang terkenal galak itu. Kamu
semua hanya tersenyum-senyum kecil menahan tawa.
Lalu perlahan ia menengok ke arah kami dengan wajah memerah. Kami
pura-pura tidak melihatnya. Ia tampak ragu-ragu namun akhirnya Bang
Roshan melangkah pelan-pelan, melangkah ke arah meja kami.
“Mmhh... dompetku hilang, ponselku juga hilang. Ren aku bisa pinjam
uang dulu tidak buat bayar makan, nanti besok aku ganti” Sahut Bang
Roshan.
Aku diam saja ia pura-pura tak peduli.
“Na.. aku bisa pinjam uang kamu”
Ina juga diam saja. Sungguh kami semua tidak tega melakukan ini. Ingin
rasanya tertawa lepas untuk situasi konyol ini.
“Ine, Eka, Dian, Rima, kalian bisa pinjamkan aku uang”
Kami masih diam. Lalu......
“Iya Abaaangggg” sahut kami semua disambung dengan tawa yang sangat lebar.
“Hahahahahaha” Tawa kami.
“kalian menertawakan apa. Memang ada yang lucu” sahut Bang Roshan
“Nggak. Aya ABang duduk disini. Makan lagi sama kami” cetusku
Bang Roshanpun duduk, lalu sesuai rekomendasi kami ia memesan kembali
makanan yaitu empe empe kegemarannya. Ia memang tampak masih lapar. Lalu
keluarga kami akhirnya bersatu kembali dalam tawa bahagia. Untuk yang
satu ini kami harus berterima kasih pada Johan dan Dedi yang telah
berhasil menyembunyikan Dompet dan Ponsel Bang Roshan. Suatu saat kami
akan cerita soal kekonyolan ini sama Bang Roshan, tapi tidak dalam waktu
dekat. Takut dia marah. Hihi...
0 komentar :
Post a Comment