Daun yang berwarna terang oleh sinar matahari menemani kesendirianku.
Beginilah aku selalu merasa sendiri bersama suara-suara yang bergemuruh
ditengah gelombang udara. Aku selalu sendiri ditengah muram yang selalu
menghiasi bagian-bagian mukaku. Aku adalah makhluk planet seperti pluto
yang pernah ada dulu.
Sebenarnya akuini siapa? Mengapa
tak ada orang yang menganggap kepedihanku. Aku seperti angka nol, aku
seperti kosong tak terlihat oleh siapa-siapa. Oleh mama, oleh papa, oleh
kakak, oleh sahabat, aku tak terlihat oleh siapa-siapa. HAHHHH... Apa
benar aku tak berarti dan tak berguna?. Lalu untuk apa aku lahir
kedunia. Bukankah tuhan menciptakan manusia dengan kegunaannya?. Berarti
aku bergunakan?. Tapi mengapa orang-orang disekitarku tak menganggapku,
tak menganggap kepedihanku sehingga setiap keluh kesahku adalah gurauan
belaka.
TUNGGU!!.. Sebenarnya tak separah itu kok, ini
hanya soal papa dan mama yang tak peduli kepadaku. Mereka hanya sibuk
dengan rutinitas sehari-hari mereka. Sedang aku, aku tak lebih dari
patung yang ketika mereka berlalu lalang aku diacuhkan begitu saja.
Tuhan kenapa aku dilahirkan dari orang-orang yang tak peduli tentang
hidupku?.
Ya sudah. Lagipula selama ini aku sudah berusaha
mengambil hati untuk mendapatkan perhatian mereka. Membantu mama jika
mama memasak masakan khusus buat papa. Belajar terus menerus sampai
juara kelas supaya papa bangga. Meski tetap saja itu semua tak bisa
memalingkan wajah mereka kehadapanku. Itu semua hanya bisa mencuri
perhatian mereka beberapa menit saja.
Daun-daunpun tampak
redup, matahari menggeser langkahnya kehadapan awan. Awan pun menggumpal
menutup langit dan menyembunyikan matahari. Aku masih duduk saja, aku
tak takut disambangi hujan karna jauh didalam jiwaku tengah ada hujan
badai yang memporak-porandakan perasaanku. Sebetulnya aku tak sendirian
juga. Aku punya seorang teman. Namanya Kak Shadil. Aku panggil kakak
karna dia memang seperti kakakku sendiri. Aku biasanya bercerita pada
Kak Shadil tentang kesedihanku. Tapi hari ini kak Shadil pasti lagi
sibuk di sanggarnya. Maklum Kak Shadil mengelola sebuah Sanggar
sederhana. Cita-citanya ia ingin mengembangkan potensi yang dimiliki
anak-anak. Salah satu caranya ya dengan mendirikan sanggar itu.
Aku
sering ke sanggarnya, main bersama anak-anak. Dengan begitu bisa
mengurangi sedikit kesedihanku. Tapi untuk hari ini aku tak berani
kesana. Takut mengganggu persiapan mereka karna sebentar lagi mereka
akan mengadakan pementasan disalah satu acara pemerintah. Lalu aku harus
bagaimana?. Kira-kira kemana sebaiknya aku melangkahkan kaki.
Kak
Shadil adalah pendengar cerita yang baik, ya meskipun dia selalu
menyebalkan setiap kali aku cerita. Tau gak? Dia gak pernah membela aku
bila aku ada masalah. Seperti sekarang, saat aku punya masalah sama papa
dan mama. Kak Shadil malah belain papa dan mama. Jadi sebel kan aku,
cape-cape cerita Cuma dapat nasehat. Aku cerita sama Kak Shadil soal
masalah ini beberapa hari yang lalu disanggarnya. Kebetulan waktu itu
Kak Shadil tidak terlalu sibuk. Jadi aku berani mengganggunya. Bila
sedang istirahat kak Shadil gak diam ada saja yang dikerjakannya.
Seperti saat itu, masa dia mau dengerin cerita aku sambil ngetik
dikomputer. Apa dia bisa paham cerita aku.
“Kak, tes DNA itu biayanya berapa kak?”. Celetukku membuka pembicaraan.
“Istighfar Ulfa..”
“Ih si Kakak, memangnya aku habis ngelakuin dosa apa?. Protesku.
“Jangan kamu pikir kakak gak tau maksud kamu ya, Anak aneh”.
“Hehe..”
“Lagipula tes DNA itu besar biayanya, 7 jutaan.. kamu sanggup?.
“O Ow.. semahal itu kak?
“Ya semahal itu yang jelas lebih mahal tuh dari harga kerupuk”
“Ih biasa aja kali kak”
Kak
Shadil.. Kak Shadil.. dia ngomong ma aku tapi mata ke komputer, aku
disini kak. Lihat ke aku dong, gumamku dalam hati. Tak lama Kak
Shadilpun berhenti mengetik. Enah karena dia kehabisan ide atau karena
pegal aku tak tau. Dia kemudian membalikan badannya ke arahku.
“Lagi pula untuk apa Ulfa, terlalu berlebihan kamu” sahut Kak Shadil
“Abisnya, aku ragu. Aku anak papa dan mama apa bukan?, mama malah
pernah bilang kaya gini. Aku kan nanya ya ke mama. Ma kok wajah aku gak
mirip mama sih?. Tanya aku. Nah apa coba jawab mama. Kamu kan memang
bukan anak mama Ulfa. Jadi waktu kecil mama dan papa nemu kamu di taman
deket rumah, karna kasihan mama dan papa bawa kamu pulang kerumah ini
deh. Hahahaha, mama ketawa deh lebar-lebar”.
“itu mama kamu bercanda Ulfa”.
“Nggak Kakak, justru semenjak mama cerita aku jadi percaya kalau aku
memang bukan anak papa dan mama. Buktinya aku gak dianggap sama mereka”
“Gak dianggap seperti apa sih Fa”
“Ya gak dianggap, gak ngasih perhatian, kasih sayang, gak pernah manja-manjain”
“Memang kamu inginnya dimanja?”.
“Nggak juga”.
Kami diam sejenak, Kak Shadil lalu memalingkan wajah dan badannya dari hadapanku dan kembali melanjutkan ketikannya.
“Cara orang tua mengungkapkan kasih sayangnya, itu berbeda-beda Ulfa”
“Misalnya?”
“Ada orang tua yang mengungkapkan rasa sayang dengan cara memberikan
perhatian penuh dan memanjakannya. Ada orang tua yang mendidik anaknya
dengan keras sebagai cara mereka mengungkapkan kasih sayang”.
“Nah kalau papa dan mama aku termasuk yang mana?”
“Ya kakak gak tau, kamu yang bisa menilainya senidiri. Kamu kan anaknya.
“Ah jawabannya gak memuaskan, penuh dengan keragu-raguan”.
“Fa, temukan dirimu, disitu kamu akan menemukan kebahagaiaan”
Itu
saja yang selalu dikatakan kak Shadil, temukan dirimu, disitu kamu akan
menemukan kebahagaiaan. Maksudnya apa coba. Memangnya diriku ini cewek
apakah? Hahaha... jadi ngelantur. Huhhh.. dia memang menyebalkan.
Bukannya membela aku tapi malah membela papa dan mama. Kemana lagi aku
harus mengadu.
***
Malam
ini aku tak akan pulang kerumah, biar saja orang-orang serumah pada
sibuk nyariin. Tapi belum tentu juga. Bisa saja mereka menganggap aku
lagi ada kegiatan disekolah. Akukan sering nginep di luar karna kegiatan
sekolah. Apa aku telpon saja ya. Tapi gengsi ah. Masa mau kabur dari
rumah pake bilang-bilang, kan gak seru.
Malam ini aku
harus kemana?, aku tak punya tempat mengadu lagi. Gimana dengan
teman-teman. Hhmmm.. mereka sudah bosan dengan cerita aku yang ini ini
aja. Yang ada, aku cerita mereka malah tertidur pulas.
Haduhh
laper, dari sore aku belum makan. Padahal kalau di rumah kerjaan aku
makan, makan dan makan. Aku ingin makan makanan yang panas panas malam
ini. Tapi apa ya? Makan sop, bakso, soto atau apa ya yang enak. Hmmmm..
soal makan aja aku bingung.
Tunggu-tunggu ada yang
memancing perhatian mataku. Siapa?, seseorang dengan jarak sepuluh meter
dariku di dekat tong sampah. Anak gadis kecil yang polos, lusuh dan
lugu kulihat tampak mencari-cari sesuatu di antara tumpukan sampah. Apa
yang ia cari?. Apakah dia kehilangan sesuatu di sana. Dimana orang
tuanya?. Kenapa orang tuanya membiarkan anak itu seorang diri?. Nasib
anak itu hampir sama denganku, tidak dipedulikan orang tuanya. Kalau
begitu aku harus membantu dia. Tapi tong sampah Ulfa. Ya kan niatnya
membantu kenapa harus takut sampah?.
Akupun menghampiri bocah kecil itu. Dengan langkah pelan, aku pastikan anak kecil itu tak terusik dengan kehadiranku.
“De, lagi apa?”. Tanyaku dengan lemah lembut.
Anak kecil itu diam saja, dia terus saja memilah-milah isi tong sampah yang ada di depannya.
“Kamu lagi cara apa, bisa kakak bantu”. Sahutku lagi sambil memperjelas maksudku.
Kalimat ke dua aku juga tak ditanggapi anak itu. Kenapa sih aku gak pernah ditanggapin semua orang. Jadi pengen nangis deh.
Beberapa
saat kemudian anak kecil perempuan itu menemukan apa yang ia cari.
Sebungkus nasi bekas orang, lalu terlintas tanya dalam diriku. Untuk
apa?. Aku bengong dan bingung. Anak kecil itu lalu membawa bungkusan
tadi. Akupun mengikutinya. Sesampai ditempat yang sepi dia membuka
bungkusan nasi itu dan...
Ya Allah.. dia memakan nasi yang
dia ambil dari tong sampah itu. Nasi kotor yang orang buang dia makan
dengan lahap. Seketika air mataku tumpah ruah. Iba aku melihatnya.
Sepahit itukah hidup ini.
Aku menghampirinya. Ku
jongkokkan badanku agar setara dengannya. Ku ambil bungkusan nasi itu
dan kuikat dengan karet lalu kulempar jauh. Gadis kecil itu menatapku
penuh benci. Aku seperti orang jahat yang telah merenggut anugrah dan
kenikmatan dari hadapannya. Perlahan dia meneteskan airmata. Kontan saja
kuambil sapu tangan dari dalam tasku dan kusapu air matanya. Kuraih
tangannya dan ku ajak dia berdiri.
“De, kakak juga lapar. Ayo kita cari makan sama-sama”.
Aku membawa gadis kecil itu ke sebuah warung tenda yang banyak berjajar di tepi jalan.
“Kamu mau pesan apa?”. Tanyaku lembut.
Anak
kecil itu diam, dia seperti tak bisa berkomunikasi. Akhirnya aku
pesankan ia nasi putih dengan ayam bakar sebanyak dua porsi. Akupun
makan dengan menu yang sama. Anak itu makan dengan lahap. Sepertinya dia
sudah berhari-hari tak bertemu makanan.
Usai makan, aku memesan kembali makanan, tapi kali ini dibungkus untuk bekal gadis kecil itu.
“De, rumahmu dimana?. Biar nanti kakak antar pulang.”
Gadis kecil itu kembali tak menjawab.
“Orang tua mu?”.
Gadis
kecil itu menggelengkan kepala. Seperti isyarat bahwa ia tak mempunyai
siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya Allah anak sekecil ini harus berlalu
lalang sendiri. Seketika itu aku jadi teringat rumah. Teringat mama,
teringat papa, sedang apa mereka. Akupun kembali menumpahkan airmata.
Sampai aku tersadar tangan kecil gadis itu menengadah di depanku. Lalu
aku mengambil uang di tasku dan memberikannya pada gadis kecil itu.
Anak
kecil itu menggelengkan kepala saat ku tawarkan sehelai uang, ia lalu
meraih dan mencium tanganku. Rupanya ia ingin berpamitan dan
berterimakasih kepadaku. Kemudian kukepalkan uang yang kuambil tadi pada
genggaman tangannya. Gadis kecil itu perlahan beranjak dari hadapanku.
Sambil sesekali menengok ke arahku seperti ia tak tega meninggalkan aku
yang pedih sendiri.
Ya Allah betapa berdosanya aku, betapa
aku tidak mensyukuri nikmatmu. Lihat anak kecil itu. Tak berumah. Tak
berorang tua. Kasihan sekali kan!. Sedang aku, aku yang cukup hidupnya,
aku yang memiliki orang tua, kenapa tidak bersyukur.
Aku
harus pulang, aku aku tidak boleh menyulitkan dan membebani orang tuaku.
Kasihan mereka. Perjalanan selanjutnya membawa langkahku ke istana
cinta tempat aku dilahirkan. Bodoh... bodohh... apa yang aku pikirklan
selama ini adalah sebuah kebodohan.
***
Suasana
rumahku kosong, pada kemana mereka, oh mungkin mereka belum pulang
kerja, kasihan sekali mereka harus bekerja hingga larut malam untuk
memenuhi semua kebutuhanku. Aku langsung kekamar mencuci muka, tangan,
kaki, shalat dan merebahkankan badanku di atas kasur. kugelapkan
kamarku agar mama dan papa tidak perlu menengok kekamarku.
Lalu
suara mobil terdengar memarkir dihalaman rumah. Alhamdulillah papa dan
mama pulang aku tak berharap mereka kekamarku sungguh aku ingin mereka
kekamarnya saja dan beristirahat. Tpi tiba-tiba.. aku merasakan
kehadiran mereka di kamarku.
“Pa.. anak kita sudah besar ya?”.
“Iya Ma, cantik lagi sama seperti mama dulu”.
“Oya Pa, sudah lama ya kita tidak meluangkan waktu khusus untuk Ulfa”.
“Mama benar, bagagaimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan saja, pasti Ulfa senang”.
“Ya sudah Mama setuju, kalau begitu kita ke kamar yuk Pa, kasihan Ulfa kalau istirahatnya kita ganggu”.
Lalu
aku merasakan selimut melayang menghampiri badanku. Ya mama
menyelimutiku dengan kasih sayang. Sungguh aku benar-benar beruntung
memiliki papa dan mama seperti mereka. Ternyata benar setiap orang
mengungkapkan kasih sayangnya dengan berbagai cara. Papa dan Mama
memilih untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku sebagai cara mereka
menyayangiku. Walau untuk itu mereka harus merelakan waktunya bersamaku
dengan bekerja keras siang dan malam. Walau untuk itu mereka harus rela
aku tuduh kurang menyayangiku. Tapi sekarang aku lebih mengenal papa dan
mama dan aku yakin mereka sangat menyayangiku. Itu yang penting.
0 komentar :
Post a Comment