Bahkan di jaman secanggih ini, saat jejaring sosial mampu mencari
siapapun aku tak bisa juga menemukan jejaknya. Seorang gadis berwajah
oriental yang pernah ku temui di Jakarta dalam sebuah kesempatan. Sehari
saja kebersamaanku dengannya tapi seperti semusim cinta yang bernuansa.
Kebersamaan dalam putaran roda waktu yang terus berjalan hingga
menghentikan semuanya, menghentikan kebersamaanku dengannya. Sayang
langkahku terbatas saat itu hingga tak sanggup kuantar langkahnya sampai
ke peraduan. Jabat tangan pun akhirnya menjadi penanda akhir cerita
kita. Tatapan yang sayu mengiringi langkahku dan langkahnya menjauhi
titik yang sebelumnya kita pijak bersama. Ini adalah sebuah kenangan
indah yang mungkin akan sulit tergantikan.
Selvi, sebuah
nama yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang ditelingaku. Wajah
putihnya seperti cahaya rembulan yang menerangi setiap malam. senyum
manisnya seperti lukisan yang membuat mata tak mampu untuk terpejam.
Tutur katanya yang lembut seperti alunan dawai yang menyulap suasana
seperti pada padang panjang yang dibalut orkestra. Rambutnya yang
panjang dan tergerai seperti mahkota yang menambah sempurna setiap
bagian dari dirinya. Selvi, sebuah sketsa berharga tentang bagaimana
intuisi berbicara dan bagaimana cinta tak berdaya.
Pada
sebuah ruang di ketinggian sekian ratus meter dari permukaan tanah, aku
dan dia dipertemukan. Bersama yang lain kami berbaur menjadi
kumpulan-kumpulan. Dengan takdir Tuhan aku dan dia menjadi satu ruang
yang lebih kecil bersama beberapa yang lain. Cerita mengalir dari mulut
ke mulut. Diskusi panjang tentang perlindungan perempuan dan anak
mengemuka di ruang kami. Isu tentang penjualan perempuan dan anak atau traffiking
serta anak jalanan menjadi konsentrasi diskusi kami. Dari setiap ujaran
yang keluar kemudian timbulah rasa kagum dari dirinya hingga dia pun
memiliki perhatian khusus terhadapku. Kami memiliki ketertarikan yang
sama yang belum dapat di definisikan sebagai sebuah cinta.
“Untuk mengatasi masalah ini perlu ada peran serta masyarakat, Dalam
hal ini tokoh masyarakat dalam hal ini tokoh agama memiliki peranan
penting dalam mencegah tindak-tindak kekerasan pada anak maupun
perempuan” sahutku dalam sebuah diskusi.
“Lho apa hubungannya kekerasan anak dan perempuan dengan tokoh agama?
Ini jelas menjadi tanggung jawab pemerintah, melalui instansi kepolisian
seharusnya pemerintah bisa memberikan jaminan terhadap anak-anak dan
wanita sehingga tidak menjadi korban trafficking” kata salah seorang
teman yang lain.
“Lho.. Kawan jangan
salah, Tokoh agama itu merupakan salah satu tonggak dalam kontrol
sosial. Dengan memberdayakan tokoh agama sebagai tonggak kontrol sosial,
setidaknya dapat mengurangi tindak-tindak yang akan merujuk pada
kekerasan anak dan perempuan.” Timpalku lagi.
“Coba! Apakah anda bisa menjelaskan bagaimana caranya!” pinta teman tadi.
“Yah seorang Tokoh agama bisa berperan aktif dalam upaya pencegahan
kekerasan anak dan perempuan. Melalui ceramah ceramahnya seorang Tokoh
agama dapat memberikan selipan-selipan tentang pentingnya melindungi
anak dan perempuan. Karena sesungguhnya agama menyuruh kita melindungi
sesama manusia terutama kaum yang lemah” jawabku.
Suasanapun hening atas penjelasanku.. Temanku tadi yang dari kelompok
lain juga tak memprotes pendapatku. Lalu ada seseorang yang menimpali.
“Saya setuju dengan apa yang dikatakan Hasan, Kita dapat memaksimalkan
peran tokoh-tokoh masyarakat dalam fungsinya sebagai kontrol sosial. Itu
akan memberikan upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan. Namun untuk
penindakan, kita juga berharap pemerintah bisa bersikap tegas melalui
instansi kepolisian untuk menuntaskan semua kasus yang berhubungan
dengan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan” Jelas Selvi.
Selvi
melempar senyum ke hadapku. Aku pun membalas senyumnya. Dia sungguh
manis. Tapi aku salut dengan kata-katanya. Begitu lugas dan tuntas. Dia
memang smart. Diskusi terus berlanjut. Segala opini dilontarkan
oleh semua peserta diskusi. Semua mengemukakan gagasannya mengenai
pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kami disini memang
berbeda. Tapi kami disini untuk satu tujuan yaitu Indonesia yang lebih
baik.
Pertemuan yang begitu serius dalam forum tersebut
berakhir sudah, setelah kami memaparkan hasil diskusi panjang nan
melelahkan. Ada sebuah rasa ketika hal itu lewat begitu saja. Ada
kesedihan yang mendalam akan berakhirnya kebersamaan kami. Salam-salam
bersama menjadi penanda. Sebuah salam untuk menghapus salah paham.
Maklumlah dalam diskusi itu kita banyak berdebat dengan emosi dan urat
nadi tapi tentu untuk tujuan yang mulia bukan kepentingan pribadi.
Pada
detik berikutnya aku berhasil memperpanjang kebersamaan kami. Aku
mengajaknya ke sebuah pusat berbelanjaan bersama beberapa yang lain.
Saat itu aku dan dia mengenakan baju berwarna merah. Baju yang memang
diberikan untuk peserta dalam kegiatan itu. Kami pun berjalan menuju
tempat yang kami tuju dengan melenggang kaki. Aku berjalan berdua
sementara yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Tangan-tanganku
yang nakal dan tidak tahu diri kemudian menangkap jari-jemarinya. Kontan
dia menatapku tajam. Aku pikir dia akan menamparku atau marah kepadaku.
Dia malah tersenyum dan membiarkan jari jemarinya mengayun dengan jari
jemariku.
“Hari ini pendek banget ya” sahutku.
“Iya, tidak terasa. Oya aku salut sama kamu. Kamu bisa mengeluarkan
gagasan-gagasan yang tidak dimiliki orang lain” puji Selvi.
“Kamu juga. Bahasa kamu tuh tegas dan lugas banget. Tadi kalau kamu
tidak menanggapi, mungkin yang lain akan terus memperdebatkan gagasanku”
sahutku lagi.
“Enggalah.. gagasanmu memang bagus.. Aku hanya melengkapi saja” Sahut Selvi merendah.
Dia tersenyum.. Aku diam dan melihat ke wajahnya. Ia malu.. Lalu
menarik tanganku untuk berjalan lagi. Akupun mengikuti langkahnya.
Sampailah
kami di sebuah pusat perbelanjaan. Kami berkeliling di tempat itu
mencari cari, melihat lihat, menikmati suasana. Aku dan dia masuk ke
dalam sebuah arena permainan. Kami memilih lempat bola untuk dimainkan
bersama. Terus terang baru kali itu aku memainkan permainan lempar bola,
apalagi bersama seorang wanita secantik dia. Sesuatu hal yang begitu
menyenangkan. Aku melihat senyum lepas di wajahnya. Dia seperti sudah
mengenalku beberapa waktu sebelum hari itu. Satu demi satu bola kami
lempar. Beberapa bola masuk keranjang dan menghasilkan poin dan banyak
pula bola bola yang meleset dari sasaran. Ditengah asyiknya kami
bermain, bola terakhirpun meluncur menandai akhir dari permainan. Kami
berdua menghela nafas. Mengatur nafas yang sedari tadi berpacu dengan
adrenalin. Dia begitu mempesona. Ketika capek saja. Dia begitu cantik.
Aku semakin mengaguminya.
Waktu terus berlalu, sore
menjelang dan itu artinya aku dan dia benar-benar harus mengakhiri
kebersamaan. Akhir kebersamaan yang sebenarnya merupakan kesalahanku
karna langkahku sebagai seorang lelaki terbatas waktu itu. Sebuah
obrolan sebagai penanda kebersamaan mengemuka. Aku dan dia bertukar
nomor telepon dan bertukar alamat email. Dengan itu kami berharap akan ada kebersamaan-kebersamaan selanjutnya.
Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Ya sebuah foto dirinya ia hadiahkan untuk kebersamaan kami hari itu.
“Ini untuk kamu” sahutnya.
Aku ambil foto berukuran 2R tersebut.
“Makasih ya Selvi, tapi aku tak bisa kasih fotoku, ya karna tak ada
foto di dalam dompetku. Hahaha” Ucapku sambil tertawa kecil.
“Iya ga apa-apa. Aku akan selalu ingat wajah kamu kok”
“Mudah-mudahan ada pertemuan selanjutnya ya” Harapku.
“Ya mudah-mudahan, aku juga berharap” sambungnya.
Aku
sungguh terkesan. Waktu dalam kebersamaan memang harus berhenti aku
menjabat tangannya dan melangkah mundur menjauhi titik yang sebelumnya
kita pijak bersama. Sebuah kesedihan yang luar biasa meninggalkan
dirinya tanpa sebuah kepastian dan perjanjian. Kami saling menatap
dengan wajah sayu. Itulah akhir kebersamaan aku dan dia.
Beberapa
saat setelah hari itu kami masih bisa berkomunikasi lewat telepon dan
sms, juga lewat jejaring sosial yang saat ini sudah tidak digunakan
orang lagi. Sampai akhirnya aku mengetahui satu hal bahwa ternyata aku
dan dia memiliki keyakinan yang berbeda. Aku seorang muslim dan Insya
Allah seorang mumin, sementara dia adalah seorang Kristiani. Sesuatu hal
yang sungguh membuat gempar jiwaku. Dari kejadian tersebut aku tak
pernah lagi menghubunginya, begitupun dia tak pernah menghubungiku.
Sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan jejaknya. Waktu berjalan
terus dan aku sadar dia adalah sesuatu dalam hidupku yang seharusnya aku
perjuangkan. Sampai saat ini aku masih merindukannya, entah dengan dia.
Walaupun kebersamaanku dengannya akan terbentur dengan keyakinan. Tapi
setidaknya aku ingin berusaha. Aku yakin jika aku berusaha, Tuhan akan
memberikan jalan. Meskipun aku tahu, itu takkan mudah.
0 komentar :
Post a Comment