Jantungku diterpa suasana DAG DIG DUG. Sebentar lagi sejarah baru akan ku ukir. Aku akan jadi seorang novelis. Sudah setahun ini konsentrasiku kucurahkan untuk menulis novel. Novelku yang berjudul “Harapan di Tengah Senja” ku ikut sertakan dalam Sayembara penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Kota.
Hari yang kutunggu-tunggupun tiba. Malam puncak sayembara penulisan
novel. Aku sangat antusias. Aku yakin benar kalau novel yang ku tulis
dengan apik ini akan menjadi salah satu pemenang. Bagi tujuh novel yang
terpilih dalam sayembara ini maka novelnya akan di terbitkan.
Malam puncak sayembara novel banyak di hadiri sastrawan terkenal,
tokoh-tokoh dunia seni dan juga pejabat pemerintah. Aku duduk di barisan
belakang. Pengumuman pun tiba.
“Inilah malam penganugerahan sayembara dewan kesenian kota. Adapun
pemenang-pemenang yang siap menjadi sastrawan sekaligus novelis novelis
muda adalah sebagai berikut”
Aku harus cemas, jantungku memompa darah semakin cepat hingga
jantungku berdetak kencang aku merasakan kekhawatiran yang sangat. Masih
tak terbayang untukku kalau beberapa detik lagi aku akan menyandang
titel novelis dan sastrawan. Pasti jadi sesuatu yang membanggakan.
“Novel terbaik untuk posisi ketujuh yaitu Ayat-Ayat Kesedihan karya Indrawan Wibowo, posisi ke 6 Pemimpi-Pemimpi Siang Bolong karya Andrianus Sinaga, posisi ke 5 Nova Bilang Cinta karya Dewi Rahmawati”
Aku semakin khawatir, namaku belum disebut juga. Aku memang tak
memasang target juara satu juara dua, atau juara tiga, aku hanya yakin
novelku akan masuk tujuh besar. Mungkin Allah akan memberi rizki yang
lebih buat aku. Mungkin saja novelku jadi juara satu, dua, atau tiga.
Mungkin saja kan. Tidak ada yang tidak mungkin.
Waktu pun membawaku pada pengumuman juara empat, tiga, dan dua tapi
namaku tak kunjung disebut. Apa mungkin novelku yang nomor satu.
Berikutnya akan ada dua ledakan besar yang mungkin terjadi, antara
ledakan tangis atau ledakan kebahagiaan.
“Dan juara pertama untuk tahun ini, Novel dengan judul ‘Impian Kekasih’ karya Abullah Hariri, selamat untuk para pemenang”
Seketika itu guncangan ledakan hebat mengguncang, semua ekspektasiku
mentah tak karuan. Tak kuat aku menahan genangan air mata yang ingin
keluar cepat-cepat.
Bagaimana ini? Aku gagal. Aku malu pada diriku, pada teman-teman,
pada keluarga. Aku terlanjur sesumbar bahwa aku akan jadi seorang
novelis bahkan aku berani bertaruh dengan teman-temanku. Tak terbayang,
mereka bisa menghinaku habis-habisan. Bagaimana aku? Aku tidak bisa
berbuat apa-apa.
***
Beberapa hari berlalu. Aku semakin disibukkan pekerjaan-pekerjaan
yang selama ini tertunda. Mencatat beberapa pelajaran yang ketinggalan,
meluangkan waktu yang banyak dengan sahabat-sahabatku dan lebih giat
belajar untuk memperbaiki nilai-nilaiku yang anjlok.
Tak sedikitpun aku terpikir untuk menulis lagi atau mengevaluasi
novelku yang kalah di sayembara kemarin. Aku juga tak lagi mengarang
puisi dan cerita-cerita pendek yang biasanya ku pampang di mading
sekolah. Ya mading sekolah yang yang biasanya menjadi teman
sehari-hariku, kini ku tinggalkan jauh. Sekarang tak ada satupun
tulisanku di mading sekolah. Aku sudah tidak peduli lagi, misiku
sekarang adalah menormalkan kembali kehidupanku, sebelum aku dibuat gila
oleh sayembara novel itu. Aku tak mau terbayang lagi soal tulisan
ataupun karangan. Aku ingin membuka lembaran baru saja.
Aktivitasku sehari-hari kini adalah sekolah pulang sekolah pulang,
tak ada yang lain, seperti hari ini! Memang tak ada jadwal lagi, ku
susuri lorong sekolah dengan tatapan lurus. Aku seperti mendengar
suara-suara yang menertawakanku, menertawakan kegagalanku. Tak ingin aku
melongok ke arah kiriku, karena deretan mading-mading itu akan membuat
aku mengingat luka. Tapi hati ini tidak bisa bohong, ingin sekali ku
lihat mading-mading itu. Apakah kusam atau berwarna. Di tengah tanya itu
langkahku terhenti, aku terdiam. saat aku terdiam, ada rentetan
kata-kata yang mengagetkan dan mencoba membiusku.
“hidup adalah sisi terberat. Hanya ada hitam dan putih. Tapi
tergantung apa yang kita inginkan. Yang terpenting kita jangan berhenti.
Karena ketika kita berhenti berarti kita kalah.”
Itu suara kak Billi orang yang selalu mendorongku menjadi seorang
pengarang. Padahal kenapa aku mesti terpengaruh oleh dia. Dia sendiri
jadi apa? Tak pernah ku lihat cerpen dan puisinya ada di majalah.
Apalagi melihat buku-buku karyanya terpampang di toko buku. Dia hanya
pengarang amatir.
Sebaiknya aku pergi saja tak penting juga aku meladeni dia. Dia pasti mau menghasutku lagi.
“Des.. tunggu”
Aku tak peduli, bodo amat dia mau bilang apa, aku benar-benar tak mau bicara dengannya. Aku semakin jauh dengan kak Billi. Untunglah dia tak mengejarku.
“Kekalahan adalah ketika kita berhenti, dan kamu telah benar-benar kalah” teriak kak Billi
Aku tak peduli dia mau berkata apa? Aku memang pernah berpuisi
tentang kekalahan. Saat itu menurutku kekalahan adalah ketika kita
berhenti berbuat sesuatu. Tapi sekarang aku tak percaya itu. Buatku
kekalahan adalah hal yang paling menyakitkan apalagi kekalahan yang
didasari kerja keras.
***
Setelah lari menjauh dari bayang Kak Billi, Akupun sampai di rumah.
Langkah kaki yang gontai membawaku ke dalam rumah dan menemui Ibuku yang
ku cintai. Ibu menatapku seolah bertanya mengapa aku tampak lesu, tapi
Ibu juga tahu, aku tak ingin diberi pertanyaan apa-apa. Setelah
menatapku Ibu beranjak beberapa saat lalu kembali ke hadapanku. ibu
menyampaikan sebuah amplop kepadaku. amplop yang dikirim dari sebuah
majalah. Ku buka amplop itu.
“YA Allah apa ini”
Aku kaget ada sehelai surat pemberitahuan dan lima lembar uang
seratus ribuan. Sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa mereka telah
memuat dua cerpen yang pernah aku kirim ke majalah mereka.
Tiga bulan yang lalu, aku mengirimkan beberapa cerpenku ke sebuah
majalah. Aku memang tidak berpikir cerpen-cerpen itu akan dimuat.
Sungguh waktu itu aku tengah fokus-fokusnya ke sayembara novel.
Aku dilanda kerisauan sekarang, bukan karna aku merasa disogok uang
ini tetapi tentang kesalahanku dalam menyikapi sebuah masalah. Aku
merasa telah salah menyimpulkan sesuatu. Salah dalam menyikapi
kekalahan.
Kekalahan memang adalah keberhasilan yang tertunda. Jika kita terus
berusaha. Itu memang benar tak ada orang yang meraih kesuksesan dengan
cara yang instan. Semuanya butuh proses.
***
Pagi-paginya aku ingin cepat-cepat sampai disekolah. Aku harus
menemui seseorang. Kak Billi, untunglah dia ada. Dia tengah menata
mading sekolah. Pekerjaan yang biasanya aku yang mengerjakan. Aku sangat
surprise dia tetap memelihara mading yang lama tak ku urus.
“Berhenti berarti kita kalah, apa itu benar” kataku
“Benar untuk orang yang berprinsip”
“Berarti aku adalah orang yang tidak berprinsip?”
“Kamu hanya butuh jawaban”
“Jawabannya sudah ku temukan”
“Maaf jika lancang, kenapa tulisan kakak tak ada satupun yang dimuat dimajalah atau diterbitkan” Sambungku
“Aku menulis untuk bercerita Des, soal tempatnya di mana. Aku pikir gak masalah”
Terus belajar itu kuncinya. Aku memang terlalu sombong sampai-sampai
tak bisa menerima kekalahan. Padahal menang kalah itu biasa. Bukan
sebuah ukuran yang tepat. Aku mungkin memang pernah kalah karna berhenti
. tapi aku tak boleh larut dalam kekalahan. Aku harus menang. Besok dan
seterusnya tak akan kubiarkan mading ini tanpa karya-karyaku. Aku
janji.
0 komentar :
Post a Comment